Multilevel marketing – secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang
lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah,
tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah.
Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan
yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti
ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga
yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut
dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang
pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut
mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan
point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel
marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh.
Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak
langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member,
sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member
tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan
inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan.
Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak
menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus
member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan
oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap
orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian
produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk
satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka
member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa
pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan
perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar
menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang
menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing
down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan.
Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi
kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun
vertikalnya.
Fakta Umum
Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa
multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang
dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau
left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau
perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan
berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya,
bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus
jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus
tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis
multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun
tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan
karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya.
Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena
telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski,
perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee
(pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor—
namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee
(pemakelaran).
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini,
tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli
langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara
langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock.
Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang
telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk
perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang
menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan
dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam
prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus
langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan
dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan
yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung.
Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses
pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum
Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di
atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa
dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang
dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad
pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah
(pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau
samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar
(makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian
memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi
makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau
bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara
lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i
dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam
satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan
(syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu
pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini
kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada
saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi
milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi
bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah
akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun,
masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain,
sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu
Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan
(aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani
dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam
satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah
dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas
melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari
‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang)
dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi
jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks
hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad
pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan
akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks
hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa
digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan
ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits
tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan
lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan)
menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas
haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ
tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua
transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’
mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul
dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada
tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan)
dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab
(penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua.
Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga
halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan:
“Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk
penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan
harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah
masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak
mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak
mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh
syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad
harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda)
atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang
dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad
yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad
tersebut statusnya bathil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah
boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah,
dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar,
makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami
dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai
para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu
selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta
pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang
dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja
untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun
membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi
al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang
pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya
menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi
jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah
dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau
dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli
menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya
(pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)
Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas,
bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang
lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang
terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah
‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai
orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua
kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi
penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi
sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar.
Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua
Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu
diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn
fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang
untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang
tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun
yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee
(makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti
ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn
fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi
jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek
seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa
harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar
sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership
(keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari
pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya,
maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau
bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang
mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk
–meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan
mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership
tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di
bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point)
karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian
pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad
samsarah (pemakelaran).
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka
membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership
seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari
dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus,
jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang
mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk
mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk
dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon,
yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian
selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk
mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli
itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah
melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah,
atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek
samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan
mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena
justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu,
dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini
tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan
di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek
samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini,
prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya
haram.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’
terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari
aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan
produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum
MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal
ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM
adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus
dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya.
Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada
dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang
halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan
cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah.
Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn
asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus
ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek
muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun
produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam
bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi
shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala
samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi
ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan
bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah
haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan
dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah
(dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas
pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan.
Masalahnya adakah MLM yang demikian?!
Hafidz Abdurrahman
Tiada ulasan:
Catat Ulasan