Cerita Pendek M. IRFAN HIDAYATULLAH
SORE ini seperti biasa aku berada di genggaman mereka. Aku seperti telah tidak mempunyai apa-apa lagi kalau sudah seperti ini. Tubuhku milik mereka, sayap-sayapku di kepak-kepakan untuk kepentingan mereka. Aku tergenggam dengan kuat dan hidupku diombang-ambing untuk sebuah permainan. Ya, kemudian jantanku datang dengan tergesa hinggap di atas tubuhku. Mereka semua terbahak setelah itu. Begitulah hampir setiap sore.
Sebenarnya lembayung di barat sana begitu indah, tapi rasanya tidak bagiku. Semua terasa begitu hambar dan jengah. Apalagi ketika tubuh ini digenggamnya, lalu sayap ini dikepak-kepakkannya. Ah, siapa orangnya yang bisa menanggung sebuah pemaksaan. Betul, aku sudah tidak punya kehidupan lagi. Tidak punya privacy. Terpasung.
Lalu jantan itu menukik, dengan gagah hinggap di tubuhku. Aku tak bisa menghindar. Lalu ia gur wok-wok. Aku berpaling tak kuasa melihat proses itu. Lalu jantan ditangkap kembali untuk kemudian dibawa ke sebuah jarak untuk dilepaskan lagi menuju tubuhku. Begitu seterusnya sampai rasa lelah mereka muncul sampai azan magrib berkumandang. Setelah itu aku kembali dimasukkan ke kandang.
**
AKU suka merpati, tapi aku tak mau seperti mereka. Aku suka merpati di tempat mereka memiliki kebebasan. Aku suka merpati yang hanya kulihat di koran, majalah, atau di televisi. Sebuah taman yang luas dengan bangku-bangku taman yang indah dengan tonggak-tonggak lampu taman yang indah pula atau bahkan dengan kolam air mancur yang berhiaskan patung-patung yang indah juga. Kulihat merpati di sana begitu bebas berkeliaran dan mendapatkan makan dari para pengunjung taman. Sepertinya tidak ada salah satu dari mereka yang ditangkap oleh para pecintanya.
Aku suka merpati karena mereka sering kali dijadikan lambang kedamaian. Mungkin keindahan dan kejinakan mereka yang membuat mereka diidentikkan dengan kedamaian atau mungkin hal lain dari diri mereka yang tidak kuketahui dari diri mereka. Aku suka merpati ketika sebagai lambang kedamaian mereka dilepaskan oleh tangan-tangan para penguasa ke arah langit. Aku suka kebebasan mereka setelah itu. Aku bahkan membayangkan betapa kepak mereka begitu ringan dan riang walaupun sebelumnya mereka terkerangkeng dan secara teori mereka akan tergagap dengan sebuah kebebasan. Karena bagiku sebuah kebebasan adalah kebebasan walaupun dari seratus tahun keterpasungan.
Aku suka merpati karena warna bulu mereka yang begitu kalem. Tak pernah atau mungkin belum pernah kulihat merpati dengan warna yang mencolok. Warna merpati selalu lembut. Aku suka warna merpati yang putih campur abu keemasan atau warna salem campur cokelat. Sepertinya warna-warna kalem mereka menyiratkan karakter mereka sendiri yang begitu mampu menguasai diri. Ah entahlah, yang jelas aku suka merpati.
Aku suka merpati, tapi aku tak mau seperti mereka. Saat tubuh mereka digenggam manusia dan sayap dikepak-kepakkan atau dikepakpaksakan. Setelah itu sang jantan menyerbu si betina lalu gur wok-wok.
**
SENJA selanjutnya. Aku tetap digenggam dan dikepakpaksakan. Mereka telah membuat skenario bagiku. Bukan Dia. Mereka bahkan hampir tak kenal Dia. Dan aku mengenal-Nya saat aku terpasung. Betapa sesuatu yang baik menurut mereka belum tentu menurut-Nya dan tentu saja menurutku. Begitu pun sebaliknya. Tapi, aku Dia punya skenario besar yang di dalamnya ada skenario mereka dan skenarioku. Dan skenarioku adalah menolak skenario mereka agar skenario-Nya berpihak pada keinginanku. Namun, aku tidak berdaya melawan skenario mereka. Seolah mereka punya kuasa atas diriku, penuh. Dan skenario-Nya tetap misteri.
Dan saat ini jantan itu kembali menyambangiku. Aku kembali dikepakpaksakan. Sayap-sasyapku sungguh sudah lelah, bahkan serasa akan luruh. Bulu-buluku kadang memang berjatuhan karena begitu kasar pemaksaan itu.
"Kali ini kau tidak bisa menolak. Jantan yang ini begitu berenergi. Jantan ini tidak memerlukan waktu yang lama menujumu. Jantan yang ini cocok buatmu. Libidonya meninggi saat menghampirimu. Jantan ini cocok buatmu." Mereka berkata lirih hampir dekat telingaku, sambil mengelus bulu-buluku.
"Tapi......"
"Tapi, kau tak suka. Itu kan jawabanmu. Ingatlah, kau telah tidak bisa berbuat apa-apa. Kami yang mengaturmu. Itu akan baik bagimu karena kepasrahanmu adalah kemestian. Ingat kau betina yang kami kepakkan. Dan jantan itu datang dengan gagah, penuh libido di matanya, di kepak sayapnya, di cakar-cakarnya." Mereka masih begitu lirih berbicara. Lirih yang tipis, tipis yang tajam. Tajam yang menyarat.
Aku akhirnya tak bisa berbuat apa-apa saat jantan menukik menunggangi eksistenku. Dan Gur wok-wok.
**
AKU suka merpati karena kepandaiannya menentukan arah. Sejauh-jauh merpati terbang, dia akan kembali ke kandangnya. Aku suka sekali itu. Apalagi ketika aku membayangkan kepak mereka di langit biru sama menuju satu titik tempat kembali. Menunggang angin, menembus awan, menuju pelangi, dan memandang dunia jauh di sana. Dunia yang tidak ada artinya dibanding sebuah perjalanan melangit. Ah aku suka sekali itu. Dan bahkan, merpati seperti itu begitu dihargai tinggi. Mereka pandai, cekatan, dan penuh wibawa.
Aku suka sekali merpati seperti itu. Dan aku harus pergi seperti mereka. Aku harus meninggalkan sarang untuk mencari kehidupanku. Aku harus terbang dan menemukan keindahan di sana. Aku harus meninggalkan sisi pengap kehidupanku. Keterpasunganku.
Ya, aku merencanakan untuk pergi. Barang-barang telah kukemasi. Aku harus meninggalkan penjara ini. Harus.
**
SENJA selanjutnya aku memberontak. Aku meronta sekuat tenaga. Kupatuki tangan mereka. Dan akhirnya aku terlepas dari genggaman mereka. Aku begitu takjub dengan kemampuanku. Aku ternyata bisa juga terlepas dari kekuasaan mereka. Lalu aku berusaha untuk lari. Mereka semua mengejarku. Mereka yang selalu mengepakkanku di senja begitu banyak dan berkuasa. Aku terus berlari dan menghindar dari gapaian tangan mereka. Aku harus bebas.
Jantan itu tiba dan kehilanganku. Kehilangan kepakku. Ia seolah telah impoten dengan kebebasanku. Aku terus berlari menghindari tangan-tangan mereka. Dan aku berhasil, tapi mereka begitu senang dan terbahak. Seakan mereka begitu optimis dapat menangkapku kembali bahkan hampir seperti pesta mereka mengejar-ngejarku. Sorak-sorai dan saling berlomba. Dan aku yang diburu. Sambil berlari aku sempat memandang langit. Aku harus terbang menuju kebebasan itu, pikirku. Kenapa aku tidak terbang, lepas landas, dan mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang tengah berpesta memburuku, pada mereka yang selama ini menjajahku. Aku harus terbang.
Akhirnya aku mulai membuka lebar-lebar sayapku. Sayap yang sebenarnya sudah lelah karena dikepakpaksakan selama ini. Aku harus terbang. Dan aku begitu berenergi menuju dunia langitku. Aku kepak-kepakkan sayapku. Kuhentakkan kedua kakiku untuk memberi tolakan pada terbang pertamaku. Dan aku berhasil. Namun mereka masih bersorak-sorai, bahkan melihatku dengan pandangan mengejek. Mereka begitu optimis dapat menangkapku kembali. Dan senja yang meliputiku pun beranjak malam saat sayap-sayapku kaku dan aku menukik menuju tanah kembali setelah kumencoba menerbangkan diriku. Aku tertangkap karena sayapku telah mereka lumpuhkan. Sayapku telah bukan untuk terbang lagi. Sayapku hanya untuk dikepakpaksakan untuk menarik jantan yang datang dengan libidonya, menukik ke arahku, lalu gur wok-wok.
**
"KAU tak bisa pergi, Ajeng. Kau hanya bisa di sini. Bisa apa kau di kampungmu, heh. Kau cantik. Jangan sia-siakan kecantikanmu." Senja pun meluruh. Malam datang tanpa bulan. Duniaku gelap.***
SORE ini seperti biasa aku berada di genggaman mereka. Aku seperti telah tidak mempunyai apa-apa lagi kalau sudah seperti ini. Tubuhku milik mereka, sayap-sayapku di kepak-kepakan untuk kepentingan mereka. Aku tergenggam dengan kuat dan hidupku diombang-ambing untuk sebuah permainan. Ya, kemudian jantanku datang dengan tergesa hinggap di atas tubuhku. Mereka semua terbahak setelah itu. Begitulah hampir setiap sore.
Sebenarnya lembayung di barat sana begitu indah, tapi rasanya tidak bagiku. Semua terasa begitu hambar dan jengah. Apalagi ketika tubuh ini digenggamnya, lalu sayap ini dikepak-kepakkannya. Ah, siapa orangnya yang bisa menanggung sebuah pemaksaan. Betul, aku sudah tidak punya kehidupan lagi. Tidak punya privacy. Terpasung.
Lalu jantan itu menukik, dengan gagah hinggap di tubuhku. Aku tak bisa menghindar. Lalu ia gur wok-wok. Aku berpaling tak kuasa melihat proses itu. Lalu jantan ditangkap kembali untuk kemudian dibawa ke sebuah jarak untuk dilepaskan lagi menuju tubuhku. Begitu seterusnya sampai rasa lelah mereka muncul sampai azan magrib berkumandang. Setelah itu aku kembali dimasukkan ke kandang.
**
AKU suka merpati, tapi aku tak mau seperti mereka. Aku suka merpati di tempat mereka memiliki kebebasan. Aku suka merpati yang hanya kulihat di koran, majalah, atau di televisi. Sebuah taman yang luas dengan bangku-bangku taman yang indah dengan tonggak-tonggak lampu taman yang indah pula atau bahkan dengan kolam air mancur yang berhiaskan patung-patung yang indah juga. Kulihat merpati di sana begitu bebas berkeliaran dan mendapatkan makan dari para pengunjung taman. Sepertinya tidak ada salah satu dari mereka yang ditangkap oleh para pecintanya.
Aku suka merpati karena mereka sering kali dijadikan lambang kedamaian. Mungkin keindahan dan kejinakan mereka yang membuat mereka diidentikkan dengan kedamaian atau mungkin hal lain dari diri mereka yang tidak kuketahui dari diri mereka. Aku suka merpati ketika sebagai lambang kedamaian mereka dilepaskan oleh tangan-tangan para penguasa ke arah langit. Aku suka kebebasan mereka setelah itu. Aku bahkan membayangkan betapa kepak mereka begitu ringan dan riang walaupun sebelumnya mereka terkerangkeng dan secara teori mereka akan tergagap dengan sebuah kebebasan. Karena bagiku sebuah kebebasan adalah kebebasan walaupun dari seratus tahun keterpasungan.
Aku suka merpati karena warna bulu mereka yang begitu kalem. Tak pernah atau mungkin belum pernah kulihat merpati dengan warna yang mencolok. Warna merpati selalu lembut. Aku suka warna merpati yang putih campur abu keemasan atau warna salem campur cokelat. Sepertinya warna-warna kalem mereka menyiratkan karakter mereka sendiri yang begitu mampu menguasai diri. Ah entahlah, yang jelas aku suka merpati.
Aku suka merpati, tapi aku tak mau seperti mereka. Saat tubuh mereka digenggam manusia dan sayap dikepak-kepakkan atau dikepakpaksakan. Setelah itu sang jantan menyerbu si betina lalu gur wok-wok.
**
SENJA selanjutnya. Aku tetap digenggam dan dikepakpaksakan. Mereka telah membuat skenario bagiku. Bukan Dia. Mereka bahkan hampir tak kenal Dia. Dan aku mengenal-Nya saat aku terpasung. Betapa sesuatu yang baik menurut mereka belum tentu menurut-Nya dan tentu saja menurutku. Begitu pun sebaliknya. Tapi, aku Dia punya skenario besar yang di dalamnya ada skenario mereka dan skenarioku. Dan skenarioku adalah menolak skenario mereka agar skenario-Nya berpihak pada keinginanku. Namun, aku tidak berdaya melawan skenario mereka. Seolah mereka punya kuasa atas diriku, penuh. Dan skenario-Nya tetap misteri.
Dan saat ini jantan itu kembali menyambangiku. Aku kembali dikepakpaksakan. Sayap-sasyapku sungguh sudah lelah, bahkan serasa akan luruh. Bulu-buluku kadang memang berjatuhan karena begitu kasar pemaksaan itu.
"Kali ini kau tidak bisa menolak. Jantan yang ini begitu berenergi. Jantan ini tidak memerlukan waktu yang lama menujumu. Jantan yang ini cocok buatmu. Libidonya meninggi saat menghampirimu. Jantan ini cocok buatmu." Mereka berkata lirih hampir dekat telingaku, sambil mengelus bulu-buluku.
"Tapi......"
"Tapi, kau tak suka. Itu kan jawabanmu. Ingatlah, kau telah tidak bisa berbuat apa-apa. Kami yang mengaturmu. Itu akan baik bagimu karena kepasrahanmu adalah kemestian. Ingat kau betina yang kami kepakkan. Dan jantan itu datang dengan gagah, penuh libido di matanya, di kepak sayapnya, di cakar-cakarnya." Mereka masih begitu lirih berbicara. Lirih yang tipis, tipis yang tajam. Tajam yang menyarat.
Aku akhirnya tak bisa berbuat apa-apa saat jantan menukik menunggangi eksistenku. Dan Gur wok-wok.
**
AKU suka merpati karena kepandaiannya menentukan arah. Sejauh-jauh merpati terbang, dia akan kembali ke kandangnya. Aku suka sekali itu. Apalagi ketika aku membayangkan kepak mereka di langit biru sama menuju satu titik tempat kembali. Menunggang angin, menembus awan, menuju pelangi, dan memandang dunia jauh di sana. Dunia yang tidak ada artinya dibanding sebuah perjalanan melangit. Ah aku suka sekali itu. Dan bahkan, merpati seperti itu begitu dihargai tinggi. Mereka pandai, cekatan, dan penuh wibawa.
Aku suka sekali merpati seperti itu. Dan aku harus pergi seperti mereka. Aku harus meninggalkan sarang untuk mencari kehidupanku. Aku harus terbang dan menemukan keindahan di sana. Aku harus meninggalkan sisi pengap kehidupanku. Keterpasunganku.
Ya, aku merencanakan untuk pergi. Barang-barang telah kukemasi. Aku harus meninggalkan penjara ini. Harus.
**
SENJA selanjutnya aku memberontak. Aku meronta sekuat tenaga. Kupatuki tangan mereka. Dan akhirnya aku terlepas dari genggaman mereka. Aku begitu takjub dengan kemampuanku. Aku ternyata bisa juga terlepas dari kekuasaan mereka. Lalu aku berusaha untuk lari. Mereka semua mengejarku. Mereka yang selalu mengepakkanku di senja begitu banyak dan berkuasa. Aku terus berlari dan menghindar dari gapaian tangan mereka. Aku harus bebas.
Jantan itu tiba dan kehilanganku. Kehilangan kepakku. Ia seolah telah impoten dengan kebebasanku. Aku terus berlari menghindari tangan-tangan mereka. Dan aku berhasil, tapi mereka begitu senang dan terbahak. Seakan mereka begitu optimis dapat menangkapku kembali bahkan hampir seperti pesta mereka mengejar-ngejarku. Sorak-sorai dan saling berlomba. Dan aku yang diburu. Sambil berlari aku sempat memandang langit. Aku harus terbang menuju kebebasan itu, pikirku. Kenapa aku tidak terbang, lepas landas, dan mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang tengah berpesta memburuku, pada mereka yang selama ini menjajahku. Aku harus terbang.
Akhirnya aku mulai membuka lebar-lebar sayapku. Sayap yang sebenarnya sudah lelah karena dikepakpaksakan selama ini. Aku harus terbang. Dan aku begitu berenergi menuju dunia langitku. Aku kepak-kepakkan sayapku. Kuhentakkan kedua kakiku untuk memberi tolakan pada terbang pertamaku. Dan aku berhasil. Namun mereka masih bersorak-sorai, bahkan melihatku dengan pandangan mengejek. Mereka begitu optimis dapat menangkapku kembali. Dan senja yang meliputiku pun beranjak malam saat sayap-sayapku kaku dan aku menukik menuju tanah kembali setelah kumencoba menerbangkan diriku. Aku tertangkap karena sayapku telah mereka lumpuhkan. Sayapku telah bukan untuk terbang lagi. Sayapku hanya untuk dikepakpaksakan untuk menarik jantan yang datang dengan libidonya, menukik ke arahku, lalu gur wok-wok.
**
"KAU tak bisa pergi, Ajeng. Kau hanya bisa di sini. Bisa apa kau di kampungmu, heh. Kau cantik. Jangan sia-siakan kecantikanmu." Senja pun meluruh. Malam datang tanpa bulan. Duniaku gelap.***
Tiada ulasan:
Catat Ulasan