Amrin Batubara
ambara4@yahoo.com
A. Pendahuluan
Ketika seorang anak manusia masih bayi, ia akan menangis
untuk menyatakan sesuatu kepada orang yang paling dekat dengan dirinya.
Tangisan itu lama-kelamaan berganti rupa menjadi arus bunyi yang
bermakna dan akan bertambah lengkap dan rumit sampai manusia
meninggalkan dunia yang fana ini. Itulah bahasa, sehingga pada umumnya
disimpulkan bahwa bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Simpulan ini
bukan tanpa dasar. Dasar itu adalah bahasa merupakan sarana
komunikasi antara manusia.
Kepak sayap induk ayam saat
burung helang terbang sambil mengintip untuk memangsa anak ayam,
merupakan suatu simbol agar anak-anak ayam itu berlarian di bawah sayap
induknya, juga merupakan bahasa, khususnya untuk ayam. Simbol yang
diberikan oleh induk ayam tetap tidak berkembang dari waktu ke waktu.
Jika dibandingkan dengan bahasa manusia jauh lebih lengkap untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan daripada bahasa hewan atau simbol
yang lain.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat
hidup sendiri. Mereka hidup berkelompok dan saling ketergantungan satu
sama lainnya. Untuk dapat hidup berkelompok, tentunya mereka terdapat
saling pengertian kerana adanya kepentingan yang mengikatnya. Untuk
kepentingan itu dukungan alat komunikasi (bahasa) memegang peranan
penting.
Bahasa sebagai alat penyampai pesan mengikat
kelompok untuk saling pengertian dalam rangka hidup bersama, bergerak,
dan mempertahankan diri dalam beraktivitas. Dengan demikian, dapat
diasumsikan bahwa bahasa seumur dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Hanya bagaimana bentuk bahasa itu pada awalnya dan bagaimana asal-usul
bahasa itu.
1 Dengan hadirnya kebudayaan yang sesungguhnya
(kebudayaan yang sangat primitif) memberi sugesti bahwa seharusnya
sudah ada bahasa pada waktu itu, kerana bahasa merupakan prasyarat bagi
pewarisan tradisional dan pertumbuhan kebudayaan. Awal mula pertumbuhan
bahasa mungkin sudah ada pada hominid, sedang bahasa yang sesungguhnya
baru timbul lebih kemudian.
Berdasarkn uraian tersebut,
dalam makalah ini akan diuraian berturut-turut: Teori Tradisional
tentang Asal Mula Timbulnya Bahasa; Asal-Usul Bahasa; Pendekatan Modern
Tentang Asal Usul Bahasa; dan Sejarah Perkembangan Bahasa di Dunia.
B. Uraian
1. Beberapa Teori Tradisional Tentang Awal Mula Timbulnya Bahasa
a. Teori Tekanan Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith (dalam Keraf, 1996:2).
Teori ini bertolak dari anggapan bahwa bahasa manusia timbul kerana
manusia primitif dihadapkan pada keperluan untuk saling memahami.
Apabila mereka ingin meyatakan objek tertentu, maka mereka terdorong
untuk mengucapkan bunyi-bunyi tertentu yang akhirnya mereka mengenal
sebagai tanda. Demikian pula, apabila pengalaman mereka bertambah mereka
berusaha akan menyampaikan pengalaman baru itu dengan bunyi-bunyi
tertentu pula. Tutur merupakan produk tekanan sosial, bukan hasil dari
perkembangan manusia itu sendiri.
b. Teori Onomatopetik atau Ekoik
Teori ini disebut juga imitasi bunyi atau gema. Teori
mengatakan bahwa objek-objek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh objek-objek itu. Objek yang dimaksud adalah bunyi
binatang atau peristiwa alam. Manusia berusaha meniru bunyi anjing,
ayam, atau desis angin, debur gelombang, dan sebagainya akan menyebut
objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi itu.
Whitney
(1874) mengatakan bahwa dalam setiap tahap pertumbuhan bahasa, banyak
kata baru timbul dengan cara ini. Kata-kata mulai timbul pada anak-anak
yang berusaha meniru bunyi kereta api bunyi mobil dan sebagainya.
Sementara itu, Lefevre (1894) mengemukakan bahwa binatang-binatang
memiliki dua elemen bahasa yang penting ia itu: teriakan refleks dan
spontan kerana emosi atau keperluan, dan terikan sukarela untuk memberi
peringatan, menyatakan ancaman atau panggilan.
Dari kedua
jenis ujaran ini, manusia mengembangkan bermacam-macam bunyii dengan
mempergunakan variasi tekanan, reduplikasi, dan intonasi berkat
mekanisme ujaran yang lebih sempurna, dan otak yang sudah lebih
berkembang.
Teori ini ditolak oleh penentangnya bahwa
tidak logik manusia yang tinggi derajatnya meniru-niru bunyi dari
makhluk yang lebih rendah derajatnya. Demikian pula Sapir (1949)
menentang teori ini, mengatakan bahwa esensi bahasa sangat sedikit
bertalian dengan imitasi ia itu sesudah manusia mempelajari seni ujaran
dan telah mahir menggunakannya.
Walaupun ada kritik dan
sangkalan dari beberapa sarjana atas teori ini, dalam kenyataannya
memang ada unsur-unsur bahasa yang diciptakan manusia kerana usaha
meniru-niru bunyi binatang atau gejala alam sekitarnya. Bila manusia
meniru-niru makhluk rendahan, tidak berarti ia lebih rendah daripada
makhluk rendahan itu. Yang penting dalam peristiwa ini suatu bunyi yang
mungkin dihasilkan oleh suatu makhluk tanpa makna, ditiru dan dipakai
oleh manusia untuk merujuk makhluk itu sendiri atau perbuatannya.
Maknanya justeru diberi oleh manusia yang meniru bunyi itu, dan bukan
oleh makhluknya sendiri.
c. Teori Intejeksi
Teori ini bertolak dari suatu asumsi bahwa bahasa lahir dari
ujaran-ujaran instinktif kerana tekanan-tekanan batin, kerana perasaan
yang mendalam, dan kerana rasa sakit yang dialami manusia.
Teori ini banyak yang menentang, seperti Sapir (1949), bahwa interjeksi
tidak bersifat simbolik, interjeksi tidak menyatakan emosi tapi cuma
luapan emosi atau merupakan kulit dari emosi. Sementara itu, Jespersen
(1964) juga menolak teori ini, meyatakan bahwa interjeksi sangat
spontan, dan sering mengandung bunyi-bunyi yang tidak digunakan dalam
bahasa itu sendiri, misalnya vokal tak bersuara, tarikan nafas, bunyi
klik, dan sebagainya. Di samping itu banyak interjesi sudah
dikonvensikan sehingga dipelajari sebagai kata-kata biasa.
d. Teori Nativistik atau Tipe Fonetik
Teori ini diajukan oleh Muller (1891) tidak bersifat imitasi
atau interjeksi. Teorinya didasarkan pada konsep mengenai akar yang
lebih bersifat tipe fonetik. Sebagai dasar teorinya ia itu bahwa tiap
barang akan mengeluarkan bunyi kalau dipukul, tiap barang memiliki bunyi
yang khas. Kerana bunyi-bunyi yang khas itu lalu manusia memberikan
respon atau bunyi-bunyi tersebut.
e. Teori Yo-He-Ho
Teori yang lain disebut Yo-he-ho theory . Teori ini
menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam suatu kegiatan sosial.
Sekelompok orang primitif dahulu bekerja sama. Kita pun mengalami kerja
serupa misalnya, sewaktu mengangkat kayu besar secara spontan bersama
mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu kerana terdorong gerakan otot.
Demikian juga orang primitif jaman terdahulu, sewaktu bekerja tadi, pita
suara mereka bergetar lalu melahirkan ucapan-ucapan khusus untuk setiap
tindakan. Ucapan-ucapan tadi lalu menjadi nama untuk pekerjaan itu
seperti heave (angkat), rest (diam) dan sebagainya.
f. Teori Isyarat
Teori lain disebut Gesture theory yang mengatkan bahwa
isyarat mendahului ujaran. Para pendukung teori ini menunjukkan
penggunaan isyarat oleh berbagai jenis binatang, dan juga sistem isyarat
yang dipakai oleh orang-orang primitif. Salah satu contoh ia itu bahasa
isyarat yang dipakai oleh suku Indian di Amerika Utara, sewaktu
berkomunikasi dengan suku-suku yang tidak sebahasa.
Jadi,
menurut teori ini bahasa lahir dari isyarat-isyarat yang bermakna.
Menurut Darwin walaupun bahasa itu bisa dipergunakan dalam
berkomunikasi, dalam beberapa hal isyarat itu tidak dapat dipakai,
umpamanya orang tidak dapat berisyarat di tempat gelap atau kedua tangan
sibuk memegang sesuatu, atau kalau lawan berkomunikasi tidak melihat
isyarat.
Wundt (1907) menyatakan bahwa bahasa isyarat
adalah bahasa primitif, tetapi ia sama sekali tidak menegaskan bahwa
bahasa ujaran berkembang dari bahasa isyarat. Ia menganggap keduanya
dipakai bersama-sama, tetapi kemudian bahasa ujaran memperoleh status
yang lebih tetap kerana fleksibilitasnya, dan kemampuannya untuk
mengadakan abstraksi.
g. Teori Permainan Vokal
Jespersen 1964 (dalam Keraf, 1996) menyimpulkan bahwa ‘bahasa
primitif’ menyerupai bahasa anak-anak, sebelum ia merangkaikan
bahasanya menurut pola bahasa orang-orang dewasa. Bahasa manusia pada
mulanya berujud dengungan dan senandung yang tak berkeputusan yang tidak
mengungkapkan pikiran apa pun, sama seperti suara, senandung
orang-orang tua untuk membuai dan menyenangkan seorang bayi. Bahasa
timbul sebagai permainan vokal, dan organ ujaran mula-mula dilatih dalam
permainan untuk mengisi waktu senggang ini.
Bahasa mulai
timbul dalam ujud ungkapan-ungkapan yang berbentuk setengah musik yang
tak dapat dianalisa. Dalam hal ini Jespersen memahami bahwa bahasa
manusia mula-mula lebih puitis dalam permainan yang riang gembira dalam
cinta remaja yang ceria, dalam suatu impian yang romantic. Teori ini
berusaha untuk menjembatangi kesenggangan antara vokalisasi emosional
dan ideasional.
Berdasarkan beberapa teori tersebut,
tahun 1966 masyarakat Linguistik Perancis melarang mendiskusikan asal
bahasa kerana itu hanya spekulasi yang ternyata tiada artinya. Pada
peminat studi bahasa tentunya haruslah tanggap kepada teori-teori ini,
walaupun sulit ditelusuri secara ilmiah.
Penyelidikan
antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif
meyakini keterlibatan Tuhan, dewa dalam permulaan sejarah berbahasa.
Tuhanlah yang mengajari Nabi Adam nama-nama yang ada di dunia ini.
Penyelidikan antropologi tersebut sejalan dengan pemahaman Islam. Allah
berfirman dalam surah Al Baqarah (2): 31-32 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepadanya lalu berfirman : “sebutkanlah
kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar !”
(QS, 2:31)
Selanjutnya , ayat 32 sebagai berikut
Terjemahnya :
Mereka menjawab “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang Engkau telah ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana” (QS, 2:32).
Lanjut
penyelidikan antropologi menyatakan bahwa manusia diciptakan secara
simultan, dan pada penciptaan ini pula dikaruniai ujaran sebagai anugrah
Ilahi, dan di Sorga Tuhan berdialog dengan Nabi Adam dalam bahasa
Yahudi. Sebelum pertengahan abad ke-18 teori-teori asal bahasa ini
dikategorikan sebagai divine origin (berdasarkan kedewaan/kepercayaan).
Abad ke -17 Andrews Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia
menyatakan di Syurga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Nabi Adam
berbahasa Denmark, sedangkan naga berbahasa Perancis. Sebelumnya seorang
Belanda Goropius Becanus berteori bahwa bahasa di Syurga adalah bahasa
Belanda.
Abad yang sama (ke -17), raja Mesir Psammetichus
ingin mengadakan penyelidikan tentang bahasa pertama. Menurut sang
raja kalau bayi dibiarkan ia akan tumbuh dan berbicara bahasa asal.
Untuk penyelidikan diambillah dua bayi dari keluarga biasa (sampel acak)
dan diserahkannya kepada seorang gembala untuk dirawatnya. Gembala
dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi itu. Setelah sang bayi
berusia dua tahun, mereka secara spontan menyambut si gembala tadi
dengan berkata becos. Segera si gembala menghadap sang raja lalu
menceritakan keadaan bayi itu. Raja segera menyelidikinya dan
berkonsultasi dengan para penasihatnya. Menurut mereka becos berarti
roti dalam bahasa Phrygia, dan inilah bahasa pertama. Cerita ini
diturunkan kepada orang-orang Mesir kuno, hingga menurut mereka bahasa
Mesirlah yang pertama.
Kaisar Cina pun Tien-tsu, anak
Tuhan, katanya mengajarkan bahasa pertama pada manusia. Ada juga versi
lain seekor kura-kura diutus Tuhan membawa bahasa (tulisan) ke
orang-orang Cina. Di Jepan pun bahasa pertama dihubung-hubungkan dengan
Tuhan mereka Amaterasu. Orang-orang Babilonia pun percaya bahwa bahasa
pertama berasal dari Tuhan mereka, Nabi; sedang Brahmana mengajarkan
tulis-menulis kepada ras Hindu, dan masih banyak cerita-cerita yang
bernada sama dalam berbagai kebudayaan dahulu.
Bagian
akhir abad ke-18 spekulasi asal-usul bahasa berpindah dari wawasan
keagamaan, mistik dan tahyul ke alam baru yang disebut dengan fase
organis. Pertama dengan terbitnya Uber den Ursprung der Spraache (On the
Origin of Language), tahun 1772 karya Johann Gottfried Von Herder
(1744-1803) mengemukakan bahwa tidaklah tepat mengatakan bahasa sebagai
anugrah Ilahi. Menurut pendapatnya “bahasa lahir kerana dorongan manusia
untuk mencoba-coba berpikir. Bahasa adalah akibat hentakan yang secara
insting seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan
dengan mulai timbulnya teori evolusi manusia yang diprakarsai oleh
Immanuel Kant (1724-1804) yang kemudia disusul oleh Charles Darwin.
2. Asal-Usul Bahasa
Diduga
makhluk-makhluk yang mirip manusia dan menggunakan alat pemotong
terbuat dari batu ini namun masih seperti kera “berkomunikasi“ secara
naluriah , dengan bertukar- tanda alamiah berupa suara (gerutan,
geraman, pekikan), postur dan gerakan tubuh, termasuk gerakan tangan dan
lengan, sedikit lebih maju dari “komunikasi“ hewan primata masa kini.
Mereka tidak menggunakan bahasa lisan yang memerlukan penciptaan
berbagai suara yang subtil. Salah satu sebabnya, kotak suata mereka
identik dengan kotak suara kera, simpanse, dan hewan primata lainnya
yang dikenal sekarang ini, yang tidak mungkin mereka mengkombinasikan
berbagai suara untuk membentuk bahasa manusia. Pendeknya, cara
komunikasi mereka sangat primitif dibandingkan dengan komunikasi
manusia.
Banyak makhluk yang mirip manusia bertahan untuk beberapa
waktu dengan berburu dan mengumpulkan makanan, namun kira-kira 35.000
tahun yang lalu akhirnya punah secara misterius. Sementara itu, “manusia
modern“ (homo sapiens), nenek moyang manusia, muncul secara misterius
pula antara 90.000 dan 40.000 tahun lalu, di Eropa dan Timur, sebelumnya
dihuni generasi terakhir hominid. Makhluk baru ini akhirnya menyebar ke
berbagai bagian dunia, termasuk Asia dan Amerika.
Dulu nenek moyang
yang juga disebut Cro magnon ini tinggal di gua-gua. Mereka punya sosok
seperti manusia, hanya saja lebih berotot dan lebih tegap, mungkin
kerana hidup mereka penuh semangat dan makan makanan yang lebih sehat.
Ketika mereka belum mampu bserbahasa verbal, mereka berkomunikasi lewat
gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, tanduk, cadas, dan dinding
gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Prancis Selatan. Mereka
menggambarkan bison, rusa kutub, dan mamalia lainnya yang mereka buru.
Inilah sarana pertama yang dikenal manusia untuk merekam informasi.
Kemudian
antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa
lisan. Ini dimungkingkan kerana mereka punya struktur tengkorak, lidah,
dan kotak suara yang mirip dengan yang dimiliki sekarang. Kemampuan
berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini, tidak
seperti makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah.
3. Pendekatan Modern Tentang Asal-Usul Bahasa
Manusia diciptakan dengan perlengkapan fisik secara sempurna
hingga memungkinkan terlahirnya ujaran. Namun ujaran bukanlah kerana
kerja organ-organ fisik tadi. Dalam proses ujaran, faktor-faktor
psikologis pun terlibat, sebagai contoh dibayangkan sebuah telaga jernih
yang dikelilingi pepohonan rindang yang dimukimi burung-burung dan
margasatwa lainnya. Bagi seseorang, telaga tadi mungkin berarti sesuatu
yang membahayakan, bila menenggelamkan mematikan. Bagi yang lainnya
mungkin telaga tadi bisa jadi sumber kehidupan anak isterinya. Mungkin
ikannya banyak besar-besar. Bagi yang lainnya barangkali merupakan
sumber ilham, bisa dijadikan tempat isterahat, melemaskan otot sambil
mengharapkan kejatuhan inspirasi dari langit. Dalam batiniah ketiga
orang tadi ternyata ada kesan psikologis yang berbeda dan bervariasi.
Kesan-kesan ini mesti diucapkan dengan ujaran. Dengan perkataan lain
kesan-kesan tadi mesti diungkapkan dengan simbol vokal, hingga
terucapkan kata-kata, umpamanya, bahaya, ngeri, dalam, dingin,
menenggelamkan, hanyut, arus, dan sebagainya.
Fred West
mengemukakan bahwa ,” ujar seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan
manusia untuk melihat gejala-gejala sebagai simbol-simbol dan
keinginannya untuk mengungkapkan simbol-simbol itu (1975:11).
Kini para antropologi menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa
berkembang bersama. Manusia ada di bumi ini kurang lebih sudah satu juta
tahun lamanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya menjadi
homo sapiens juga mempengaruhi perkembangan bahasanya. Perkembangan
otaknya mengubah dia dari agak manusia menjadi manusia sesungguhnya.
Mereka kini mempunyai kemampuan, mulai menemukan dan mempergunakan
alat-alat, dan mulailah dia berbicara.
Pendapat lain yang
mengatakan bahwa perkembangan bahasa bayi menjadi orang dewasa. Otto
Jespersen (1860-1943) melihat adanya persamaan perkembangan antara
bahasa bayi dan manusia pertama dahulu. Bahasa manusia pertama hampir
tak punya arti, seperti lagu saja sebagaimana ucapan-ucapan bayi lama
kelamaan ucapan-ucapan tadi berkembang menuju kesempurnaan.
Dalam Combridge Encyclopedia tentang evolusi manusia, para editor
Jones, Martin, dan Plilbeam mengizinkan bahwa tidak ada bahasa kecuali
bahasa manusia; dan kemudian meneruskan mengamati bahwa bahasa adalah
suatu adaptasi unik pada manusia, namun keunikannya juga memiliki sifat
alami dan basis biologinya adalah sulit untuk digambarkan.
Manusia memiliki dua macam fasilitas untuk berbahasa, ia itu falisiltas
fisik berupa organ-organ ujaran ia itu: lidah, mulut, bibir, gigi,
hidung, tenggorokan dan sebagainya dan fasilitas non-fisik seperti: ruh,
akal pikiran dan rasa yang berfungsi untuk mengolah segala masukan dari
atau sekitar. Dalam pikiran terjadi proses pengonsepan segala masukan
tadi yang lalu dilahirkan dalam bentuk ujaran dan tulisan.
Manusia dianugrahi kemampuan pembawaan untuk mengerti alam sekitar
(dari derajat yang paling rendah sampai derajat yang paling tinggi
seperti yang dilakukan pada rasul, nabi, dan ahli pikir). Kadar
pemikiran dan penalaran ini sangat mempengaruhi bobot ujaran dan
tulisannya baik dalam kualitas maupun kuantitas. Ujaran dan tulisan
adalah cermin penalaran dari penutur dan penulisnya, dan bobot ujaran
dan tulisan adalah realisasi bobot penalarannya.
Bukti
kemampuan pembawaan untuk berbahasa ialah kenyataan bahwa setiap bayi
yang dilahirkan hidup mesti menangis. Tangisan pertama inilah bentuk
ujaran yang paling sederhana. Tangisan ini di mana pun bayi dilahirkan
secara kualitas sama. Artinya, bahwa setiap bayi memiliki bunyi-bunyi
dasar yang sama yang akan siap untuk dikembangkan dalam menguasai bahasa
apa saja. Dengan demikian, manusia sanggup menguasai lebih dari satu
bahasa.
Manusia pertama Adam dianugrahi kedua macam
fasilitas di atas. Dia mampu mengerti, merasa dan mengapresiasi segala
sifat dan kualitas segala objek atau zat. Termasuk ke dalam objek ini
adalah konsep dan nilai. Bahasa pertama Nabi Adam ini diiukuti oleh
isteri dan anak-anaknya. Lama- kelamaan anak- anak tersebut menyebar
kesegala penjuru dunia. Dengan demikian, bahasa-bahasa yang pertama ini
bercabang menjauhi pusatnya. Tumbuhlah variasi-variasi bahasa, muncullah
bahasa-bahasa serumpun. Secara tidak disadari bahasa-bahasa ini
menghimpun diri dalam suatu masyarakat bergerak menjauhi senteral baik
dalam kualitas maupun kuantitas, dan akhirnya memiliki kesejarahan,
kegunaan, pemakaian, keunikan, dan keswatantraan tersendiri yang pada
perkembangannya terlepas bebas dari bahasa asal tadi, maka tumbulah
bahasa-bahasa baru.
Gerakan perkembangan centrifugal bahasa ini
seiring dengan laju perkembangan kultur dan peradaban para penuturnya.
Para penutur bahasa ini secara tidak disadari menghimpun dari dalam
suatu masyarakt ujaran tertentu dan tentunya menyepakati norma-norma
kebahasaan bahasa tersebut dan norma sosial secara keseluruhan. Semua
penutur mesti mengikuti norma-norma ini. Ditinjaun dari kesepakatan dan
kebersamaan mengikuti dan mempertahankan norma-norma bahasa tadi, maka
gerak perkembangan bahasa ini adalah satu gerak centripetal.
Singkatnya, manusia pertama (Adam) dianurah langue ia itu konsep
kebahasaan dan kemampuan berbahasa, lalu dengan kemampuan ini Adam, dan
manusia semuanya mampu mengonsepkan alam sekitar dan konsep-konsep ini
dinyatakan dalam ujaran/tulisan atau parole. Parole ini adalah
aktualisasi konsep-konsep tadi dan merupakan performace kebahasaannya.
4. Sejarah Perkembangan Bahasa di Dunia
Perkembangan
sejarah bahasa dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang tidak lepas dari
adanya kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada sejak abad keenam
sebelum masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat itu kubu phusis
dan kubu thesis. Kubu phusis percaya bahwa ada keterkaitan antara kata
dan alam. Keterkaitan antara kata dan alam itu, menurut kubu phusis,
bersifat alami dan memang sangat diperlukan. Sebaliknya, kubu thesis
percaya bahwa tidak ada keterkaitan antara kata dan alam. Hubungan
antara kata dan alam sifatnya arbitrer dan konvensional.
Dalam
mempertahankan pendiriannya, kubu phusis mengemukakan beberapa alasan
adanya gejala onomatopoeia, yang berarti ‘gema suara alam’, sebagaimana
teori ekoik . Maksud kaum phusis ialah bahwa gema suara alam itu dipakai
manusia untuk menamakan konsep-konsep kebendaan yang ada di
sekelilingnya. Kata-kata dalam bahasa Inggris, sekaligus artinya dalam
Bahasa Indonesia misalnya, splash ‘percik’, pick ‘petik’, sway ‘ayun’,
dan masih banyak lagi adalah bukti keyakinan para penganut kubu phusis
ini.
Gejala onomatopoeia itu berkembang ke arah asosiasi bunyi dan
dengan sifat atau keadaan seseorang atau benda. Misalnya, bunyi i dalam
Bahasa Indonesia (berkesan) diasosiaskan dengan kecantikan, kemungilan,
atau kesucian. Kata-kata melati, suci, murni, dan kebanyakan nama wanita
Indonesia, adalah perwujudan dari asosiasi ini.
Selain simbolisme
bunyi di atas, pandangan terhadap gema suara alam itu berkembang lagi ke
arah asosiasi warna, lagu dengan perasaan. Perkembangan onomatopoeia
yang mengasosiakan warna dan lagu dengan perasaan itu sangat bermanfaat
dalam sistem pengaturan cahaya, warna kostum lagu-lagu pengiring dalam
pementasan seni, drama, dan tari.
Di lain pihak, dalam mempertahankan
pendiriannya, kubu thesis mengutarakan bukti-bukti bahwa nama yang
diberikan oleh manusia kepada benda-benda di sekitarnya tidak menurut
kaidah tertentu, misalnya menurut kaidah asosiasi antara nama benda
dengan suara alam. Nama-nama yang diberikan itu hanyalah konvensi antara
sesama anggota masyarakat pembicara dari suatu bahasa. Mengapa orang
Inggris mengatakan branches of a tree, sementara orang Indonesia
menyebut cabang-cabang pohon¸ dan orang Jawa menamakan pange wit, dan
dalam bahasa lain disebut lain lagi. Hal semacam itu sama sekali tidak
mencerminkan adanya keterkaitan antara nama benda atau konsep dengan
gema suara alam.
Kontroversi yang kedua terjadi sekitar abad ke-4
sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan penganut faham Anamoli.
Kerana tajamnya perbedaan keyakinan antara dua aliran ini, mereka tidak
mau tinggal dalam satu kota. Para penganut paham Analogi berpusat di
kota Alexandria, sedangkan para penganut paham Anomali lebih suka
tinggal di kota Pergamum.
Dalam bidang bahasa, kaum Analogi percaya
bahwa bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Keteraturan bahasa,
menurut aliran Analogi, terdapat pada semua aspek: aspek fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam bidang sastra, para anggota
kubu Analogi menyarankan agar tujuan karya sastra itu terutama untuk
menghibur. Kedua kubu itu menganjurkan agar dipelajari karya-karya
sastra (puisi, prosa, maupun drama) pengarang-pengarang terkenal.
Pernyataan kedua kubu itu mengandung maksud bahwa para sastrawan
bertanggung jawab untuk menjadi model yang baik dalam hal berbahasa yang
benar dan dalam hal mengajarkan moral. Kontroversi antara Analogi dan
Anomali itu berlanjut sampai sekarang.
Kontroversi yang ketiga timbul
pada jaman Renaissance, antara para penganut empirisme dan para
penganut nasional. Kaum empiris percaya bahwa jiwa manusia itu mempunyai
kemampuan, tetapi tidak tahu banyak tentang kemampuan itu. Mereka
menganggap bahwa jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang dalam
istilah mereka yang sangat terkenal itu sebagai “tabularasa”. Sebelum
jiwa manusia melakukan kegiatan, manusia tidak mempunyai apa-apa, ‘jiwa
kita ini kosong sebelum ada rangsangan lewat indera kita.’ Dalam masalah
bahasa, kaum empiris percaya bahwa bahasa itu dipelajari dari
lingkungan sekitar. Jadi, bahasa itu pada hakekatnya, menurut mereka,
‘dipelajari’.
Di pihak lain, kaum rasionalis percaya bahwa segala
sesuatu itu dapat dicari rasionalnya, kerana tidak mungkin segala
sesuatu itu terjadi begitu saja tanpa ada alasannya. Gagasan pokok kaum
rasionalis ialah bahwa jiwa manusia itu tidak seperti kertas kosong.
Jiwa manusia berbekal pemikiran-pemikiran yang logis.
Dalam masalah
bahasa, kaum rasionalis menyangkal bahwa bahasa itu didapat dari
lingkungan. Sebaliknya, mereka percaya bahasa itu sudah ada dalam jiwa
manusia sebagai pembawaan. Kerana pada hakekatnya manusia itu mempunyai
bawaan yang universal sifatnya, bahasa pun mempunyai sifat yang
universal pula. Di pihak lain, pengikut-pengikut paham empirisme,
terutama Johann Gottfried von Herder (1744-1803), percaya bahwa jiwa dan
pikrian manusia itu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain,
tergantung pada budaya yang melingkunginya. Sebagai konsekuensi, Herder
mengungkapkan adanya nasionalisme kebahasaan, dan ia tidak percaya bahwa
bahasa itu mempunyai sifat universal.
Holisme yang diterapkan di
dalam sejarah perkembangan bahasa melahirkan aliran struktualisme. Kata
struktualisme berasal dari bahasa Latin strunctura, yang artinya
bangunan. Menurut kaum struktualis, konsep apa pun dapat dihayati
sebagai bangunan. Dengan sendirinya, bahasa pun dapat dihayati sebagai
bangunan. Menurut konsep ini, bahasa dibangun dari kalimat-kalimat;
kalimat dibangun dari klausa-klausa; selanjutnya, klausa dibangun dari
frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari
morfem-morfem; dan akhirnya, morfem dibangun dari fonem. Tidaklah
mengherankan jika gramatika yang diperkenalkan oleh aliran struktualisme
itu terbatas pada gramatika struktur frasa.
Chomsky berpendapat
bahwa dalam masalah bahasa, kaum strukturalis mengacu pada kerangka
pikir keperilakuan. Padahal, bahasa manusia itu sangat rumit, tidak
sesederhana seperti yang diperkirakan oleh para penganut struktualisme.
Selanjutnya, sarjana ini mengatakan bahwa jiwa kita ingin memahami
bagaimana bahasa dikuasai dan dipergunakan oleh manusia, harus
dipisahkan sistem kognitif secara tersendiri, suatu sistem pengetahuan
dan keyakinan yang berkembang sejak anak-anak, yang telah berinteraksi
dengan faktor-faktor lain, untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan
yang dapat diamati. Dalam istilah linguistik, Chomsky menggunakan
istilah kompetensi, ia itu yang mendasari itu tidak didasari oleh
manusia. Dari konsep ini dapat dimengerti bahwa bahasa itu bukan
learned¸ melainkan innate.
Di Indonesia kontroversi antara kelompok
yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi transaksional dan kelompok yang
percaya bahwa bahasa itu berfungsi interaksional. Bagi para penganut
transaksional, fungsi bahasa yang penting ialah daya penyampai pesan
yang terkandung dalam kalimat atau ujaran. Kelompok ini percaya bahwa
satuan bahasa yang terkecil ialah kalimat, sebab kalimat itu berisi
pesan yang dianggap lengkap. Siapa yang menerima pesan tidaklah penting.
Agar pesan dapat diterima haruslah jelas, seperti jelasnya kalimat yang
diciptakan oleh seorang penutur yang ideal, tanpa cela.
C. Simpulan
1.
Beberapa teori tradisional tentang awal mula timbulnya bahasa adalah:
a) Teori Tekanan Sosial, b) Teori Onomatopetik atau Ekoik, c) Teori
Iterjeksi, d) Teori Nativistik atau Tipe Fonetik, e) Teori Yo-He-Ho, f)
Teori Isyarat, dan g) Teori Permainan Vokal.
2.
Nenek moyang yang disebut Cro magnon ini tinggal di gua-gua. Ketika
mereka belum mampu bserbahasa verbal, mereka berkomunikasi lewat
gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, tanduk, cadas, dan dinding
gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Prancis Selatan. Mereka
menggambarkan bison, rusa kutub, dan mamalia lainnya yang mereka buru.
Inilah sarana pertama yang dikenal manusia untuk merekam informasi.
Kemudian antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai
menggunakan bahasa lisan. Ini dimungkingkan kerana mereka punya struktur
tengkorak, lidah, dan kotak suara yang mirip dengan yang dimiliki
sekarang. Kemampuan berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan
hingga kini, tidak seperti makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah.
3.
Manusia diciptakan dengan perlengkapan fisik secara sempurna hingga
memungkinkan terlahirnya ujaran. Fred West mengemukakan bahwa ,” ujar
seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat
gejala-gejala sebagai simbol-simbol dan keinginannya untuk mengungkapkan
simbol-simbol itu.
4.
Perkembangan sejarah bahasa dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang
tidak lepas dari adanya kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada
sejak abad keenam sebelum masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat
itu kubu phusis dan kubu thesis. Kontroversi yang kedua terjadi sekitar
abad ke-4 sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan penganut
faham Anamoli. Kontroversi yang ketiga timbul pada jaman Renaissance,
antara para penganut empirisme dan para penganut nasional.
D. Daftar Pustaka
Jespersen, Otto. 1941. Efficiency in Linguistic Change. Det Kgl. Danske Videnskabernes Selskab. Hist-fil. Meddelelser.
Jespersen, Otto. 1964. Language. Its Nature. Development and Origin. New York: Norton.
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Lefevre, Andre. 1894. Race and Language. New York: Appleton-Contury-Crofts.
Muller, Friedrich Max. 1891. The Science of Language. New York: Charles Seribner’s Sons.
Sapir, Edward. 1949. Language. New York: Harcourt, Brace and Company.
Whitney, W.D. 1874. Life and Growth of Language. New York.
Wundt, Wilhelm. 1907. Outline of Psichology. Leipaig: Kroner.